Selasa, 22 Maret 2016

Pulau Buru dalam Memori Tapol




Saya menuliskan catatan tentang pulau Buru dalam Memori Tapol ini secara garis besarnya berdasarkan siaran pers yang saya dapatkan beberapa hari lalu dari panitia Fisipol khususnya Departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta. Ya, pada Jumat, 11 Maret 2016, Departemen Sosiologi UGM bekerjasama dengan Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) telah menyelenggarakan seminar sekaligus bedah buku seorang tahanan politik (tapol) rezim Orde Baru (Orba) yang pernah dibuang ke pulau Buru. Namanya Hersri Setiawan. Ia menuliskan pengalaman hidupnya di pulau Buru itu melalui bukunya Memoar Pulau Buru. Buku ini menjadi penting dan menarik karena didalamnya terdapat sejarah kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan bangsa khususnya para penguasa negeri ini dan sekaligus menjadi referensi pengetahuan bagu generasi muda untuk melacak kebengisan penguasa kala itu. Hersri adalah satu dari ribuan tapol lainnya yang mengalami penderitaan karena rezim penguasa yang takut dan gagap dengan segala hal berbau komunisme. Hersri beruntung karena dia masih mendapatkan “petunjuk” atau “pencerahan” dari Pulau Buru. 



Sebelum Hersri, sastrawan kemanusiaan dalam ranah idealita dan realita Pramoedya Ananta Toer telah menghasilkan empat karya dari pulau Buru yang dikenal sebagai Tetralogi Buru.  Pramoedya adalah tokoh avant garde soal pulau Buru dan kompleksitas permasalahan didalamnya.  Keempat anak rohani Pramoedya yang mengguncang rezim Orba itu adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan, Rumah Kaca. Tidak hanya Tetralogi Buru, Pramoedya juga menuliskan kisah hidup di pulau Buru melalui anak rohani yang lain yaitu Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (NSSB) Jilid I dan Jilid II. Jika tetralogi Buru merupakan kisah fiksi berlatar sejarah bangsa dengan tokoh utama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dua jilid itu justru pengalaman nyata yang dialami Pramoedya sendiri selama hidup dan bekerja paksa. Ia membabat alas, membuka hutan, merintis jalan baru, dan lain sebagainya dalam suasana keterpencilan diri di pulau pembuangan bersama ribuan tapol lainnya. Pramoedya bahkan sering menyebut ribuan manusia yang menjadi budak ketertindasan rezim ini diperlakukan tidak lebih dari seekor binatang!!!

Sebenarnya masih ada beberapa nama lagi tapol yang mendapat inspirasi pulau Buru. Pada catatan ini, izinkan saya hanya menuliskan dua nama saja yaitu Hersri Setiawan dan Pramoedya Ananta Toer.  Meski ada segelintir orang yang mendapat "ilham" dari pulau Buru, tetap saja lebih banyak tapol yang pasrah hingga akhirnya tak berdaya dengan hidup dan penghidupan di Pulau Buru.

Kembali ke Hersri. Dalam pidato pembukaan saat seminar di UGM, ia menyatakan acara ini menjadi penanda dimulainya gerakan untuk menghentikan kebisuan atas tragedi yang terjadi pada kurun 1965-1966 oleh Rezim Orba. Hersri menutukan pembacaan pusi juga diperlukan untuk mengenang kawan-kawan seangkatannya yang diculik dan tidak pernah ditemukan ketika tragedi terjadi.

Di sisi lain, Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid dalam sambutannya menjelaskan ada budaya takut yang terbentuk karena kebijakan-kebijakan represif rezim Orba. Namun, kata Hilmar, kini semua orang telah berani berpikir sendiri tanpa harus takut pada siapa pun. Sejarawan pengagum Pramoedya Ananta Toer itu bahkan mengapresiasi Kampus UGM khususnya Fisipol UGM yang telah menghantarkan masyarakat keluar dari ketakutan-ketakutan yang terbentuk di masa Orba.
“Apa  yang dilakukan Pak Hersri dapat dicontoh oleh generasi muda, bahwa akan ada anak muda yang mengikuti langkah Pak Hersri yang berani mengungkapkan pikirannya,” kata Farid.

Dosen sosiologi UGM Dr. Arie Sudjito selaku moderator diskusi bedah buku Memoar Pulau Buru Hersri menyatakan Pulau Buru adalah sebuah pulau di Maluku yang dijadikan kamp kerja paksa pada masa itu. Pulau Buru yang serupa kamp kerja paksa, tempat pembuangan dan penculikan tapol, dan seterusnya itu merupakan beberapa sikap represif pemerintah yang berhasil menciptakan ketakutan kolektif di masanya.
Beberapa narasumber seminar dan bedah buku Hersri menyatakan pendapatnya. Roichatul Aswidah dari Komnas Ham menjelaskan kejahatan kemanusiaan pada 1965 terjadi di beberapa daerah. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang dikelola oleh pemerintah/rezim yang berkuasa. Hingga kini tidak ada kompensasi dari negara kepada korban. Roichatul juga menggarisbawahi tragedi ini bukan kesalahan pemerintah dan para pelaku di lapangan semata. Ya, ini tragedi! Menurut Roichatul, masyarakat yang memilih diam dan membiarkan kekerasan itu terjadi juga patut bertanggungjawab.  

Berbeda dengan Roichatul, Budi Irawanto, pengamat media dan film dari Fisipol UGM, khusus membahas buku-nya Hersri. Istilah ET- Eks-Tahanan Politik dan Hersri pernah menjadi bagian di dalamnya. Ada upaya atau stigma yang membuat orang berlabel ET berbeda dengan orang biasa. Pemerintah menyebut kamp kerja paksa tersebut sebagai upaya merehabilitasi warga agar kembali menjadi warga negara yang pancasilais.

 
Gambar diunduh dari http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2012/11/21/1508363p.jpg


Budi bahkan mengisahkan salah satu tapol saat pembuatan jembatan keledai diperintahkan menghafal Pancasila beserta simbolnya. Semua atas nama Pancasila jua. Entah harus disebut unik atau miris, jika ada salah satu tapol yang menghafal Pancasila menjadi sangat berbeda dengan pengetahuan masyarakat umum sebagaimana dikenal saat ini. Tapol itu menuliskan kelima sila itu menjadi :
  1. Ketuhanan Yang Berbintang
  2. Kemanusiaan yang Dirantai
  3. Persatuan di Pohon Beringin
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kerbau
  5. Keadilan di Kuburan....
Hal menarik lainnya adalah aspek seksualitas di dalam kamp konsentrasi. Kecenderungan homoseksualitas di kalangan tapol cukup lumrah kala itu. Hersri menyebutkan itu bukanlah aib yang harus ditutup- tutupi. Mengapa? Ini semua terjadi karena adanya pengaruh isolasi. Bahkan, ketika menyangkut tahanan perempuan lebih mengerikan. Mereka menjadi korban pelecehan bahkan eksploitasi seksual petugas di lapangan.

Sutradara dan penulis sekaligus aktor teater Naomi Srikandi yang mengaku sebagai wakil orang awam menerangkan pengulangan kisah yang diceritakan dalam buku ini ternyata bentuk personalisasi pengalaman hidup. Menurutnya, Hersri telah memberikan pengalaman tekstual bahwa kemanusiaan harus diasah dan kekerasan harus diputus mata rantainya.

Hersri mengungkapkan kehidupan tapol dipisahkan dari kehidupan masyarakat biasa. Akibatnya, banyak penduduk sekitar yang jarang berkomunikasi dengan para tapol karena lokasi terpisah. Para tapol justru biasanya berinteraksi dengan anak-anak. Hersri pernah bertanya apa cita-cita anak-anak saat mereka besar nanti. Bocah-bocah polos itu menjawab mereka ingin menjadi petugas/pengawas kamp karena bisa menjadi tuan tanah yang kaya. Saat itu, Hersri menyadari tapol tidak memiliki apa-apa. Pemilik tanah ternyata para petugas yang mengawasi para pekerja paksa bertani. Pulau Buru kini juga dikenal dengan hasil pertanian yang melimpah seperti sayur mayur, ikan, kepiting, dan bakau. Bahkan, pulau Buru juga dikenal sebagai penghasil kayu putih yang berkualitas.

Kesimpulan diskusi dan bedah buku ini yang diambil Arie adalah diskusi bukan bertujuan membahas atau meratapi keprihatinan yang terjadi pada 1965, tetapi mencari makna dari sejarah kelam yang selama ini ditutup-tutupi agar menjadi pembelajaran bagi semua pihak.
Kemudian, tantangan serius yang dihadapi bangsa ini adalah penegakan hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya bukan hanya bersifat normatif, melainkan harus menjadi gerakan yang sinergis antara pemerintah dengan masyarakat.


Pulau Buru dalam Memori Tapol




Saya menuliskan catatan tentang pulau Buru dalam Memori Tapol ini secara garis besarnya berdasarkan siaran pers yang saya dapatkan beberapa hari lalu dari panitia Fisipol khususnya Departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta. Ya, pada Jumat, 11 Maret 2016, Departemen Sosiologi UGM bekerjasama dengan Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) telah menyelenggarakan seminar sekaligus bedah buku seorang tahanan politik (tapol) rezim Orde Baru (Orba) yang pernah dibuang ke pulau Buru. Namanya Hersri Setiawan. Ia menuliskan pengalaman hidupnya di pulau Buru itu melalui bukunya Memoar Pulau Buru. Buku ini menjadi penting dan menarik karena didalamnya terdapat sejarah kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan bangsa khususnya para penguasa negeri ini dan sekaligus menjadi referensi pengetahuan bagu generasi muda untuk melacak kebengisan penguasa kala itu. Hersri adalah satu dari ribuan tapol lainnya yang mengalami penderitaan karena rezim penguasa yang takut dan gagap dengan segala hal berbau komunisme. Hersri beruntung karena dia masih mendapatkan “petunjuk” atau “pencerahan” dari Pulau Buru. 


Rabu, 02 Mei 2012

6 Tahun Sudah, PAT tinggalkan negeri...


 Pram dengan mesin tiknya





(Sumber: http://www.goodreads.com/book/show/13448486-pramoedya-ananta-toer-luruh-dalam-ideologi)

Perantau sedikit telat menuliskan ihwal ini. Karena tepatnya 30 April 2012, 6 tahun sudah tak terasa sosoknya tinggalkan negeri dan bangsa yang sangat dicintainya.Saat semua pecinta sastra dan sastrawan rame-rame mengenangkan 63 tahun kepergian sang "aku ini binatang jalang", seorang sastrawan besar lainnya yang tak kalah penting artinya bagi kesusastraan negeri ini seakan dilupakan dan terpinggirkan. Ya, dialah sastrawan tierra humana - bumi manusia : Pramoedya Ananta Toer(PAT) yang akrab disapa cukup dengan, Pram.

Banyaknya pemerhati sastra yang masih meneliti karya-karyanya sampai saat ini boleh jadi bukti nyata akan kebesaran seorang Pramoedya Ananta Toer. Pertengahan Februari 2012, beredar buku yang kembali mengkaji sosok dan karya -karya Pram dari seorang berkebangsaan Korea yang mencintai sastra Indonesia. Prof Koh Young Hun, namanya. Pramoedya mengggugat melacak jejak Indonesia, demikian anak ruhani atau buku yang merupakan disertasi Prof Koh Young Hun dari University of Malaya. Terakhir, Savitri Scherer, seorang jurnalis yang mencintai karya-karya Pram, mendedahkan disertasinya yang kini menjadi buku berjudul Pramoedya Ananta Toer luruh dalam ideologi. Demikianlah Pram, kajian dan penelitian tentang diri dan karya-karyanya tak pernah berkesudahan. Selalu saja ada yang menarik dan memantik rasa ingin tahu yang sangat jika membahas nama seorang "Pramoedya Ananta Toer".





Beberapa komunitas sastra dan para pecintanya diam-diam tetap mengenangkan kematiannya yang tak terasa sudah 6 tahun berlalu. Pram dikenangkan dengan diam dan tenang. Dengan membahas karya-karyanya yang terus mengabadi. Demikianlah Pram yang selalu dicurigai oleh sebagian pejabat pemerintahan negeri ini karena sosok dan karyanya selalu dianggap kontroversial.Maafkan kami, Pram...

Tengoklah beberapa gelintir opini dari sastrawan dan pengamat sastra kawakan tentang diri dan karya-karya seorang Pramoedya Ananta Toer:

A Teeuw yang memberikan penilaiannya, tulisnya: "Daya meyakinkan, ketabahan, dan kreativitas yang seumur hidup dipertunjukkan Pramoedya dalam penggunaan bahasa sebagai senjata paling ampuh dalam perjuangan untuk kebenaran, keadilan dan keindahan, menjadikannya pengarang terbesar abad ini(abad 20-pen), calon kuat untuk menerima kehormatan tertinggi sedunia, hadiah nobel untuk sastra." 

Lain lagi dengan Ajip Rosidi. Ajip yang merupakan sahabat baik bagi Pram itu pernah menuliskan bahwa dalam karangan-karangan Pramoedya Ananta Toer, manusia itu terasa hidup, berdarah serta bernyawa, justru karena berakar atas suatu ruang hidup. Ruang hidup atau lingkungan Pram yang menjadi kekhasan karyanya tentu saja Blora. Meskipun Pram sering mengkritik budaya Jawa, namun Pram tetap tak melupakan lingkungan dimana ia berpijak; lingkungan kebudayaan Jawa dalam setiap karya-karyanya.

Sedang Jakob Soemardjo pernah menuliskan begini: Gaya Prosanya dapat digolongkan sebagai angkatan 45. Mula-mula ia mengagumi "kesederhanaan baru" Idrus. Tapi, jelas Pram memiliki gaya sastranya sendiri. Banyak karya sastranya yang berkisah tentang revolusi Indonesia.Sebagian besar dari roman dan cerita pendeknya bersifat otobiografis. Sebab itu karya-karyanya bisa dikerjakan dengan sangat pekat, penuh keterlibatan diri (pikiran dan emosi) dan suasana cerita sangat menonjol. Walaupun terkadang ada kejanggalan teknik, tulis Jakob, namun kejanggalan itu mudah diampuni karena kehebatannya dalam menyuguhkan pengalaman batinnya. Demikianlah Jakob Soemardjo.

Pram sendiri pernah menggariskan bahwa dalam setiap tulisan-tulisannya itu diharapkan bisa memberi kekuatan kepada pembaca untuk tetap berpihak kepada yang benar, kepada yang adil, kepada yang indah. Nama Pram tak akan habis dilekang zaman. Namanya akan terus mengabadi sebagaimana anak-anak ruhaninya yang mengembara kemana-mana.Sastrawan yang memanusiakan manusia, yang menjunjung kemuliaan manusia(human dignity). Istirahatlah dengan tenang disana, Pram. Sayonara Pram.



6 Tahun Sudah, PAT tinggalkan negeri...


 Pram dengan mesin tiknya





(Sumber: http://www.goodreads.com/book/show/13448486-pramoedya-ananta-toer-luruh-dalam-ideologi)

Perantau sedikit telat menuliskan ihwal ini. Karena tepatnya 30 April 2012, 6 tahun sudah tak terasa sosoknya tinggalkan negeri dan bangsa yang sangat dicintainya.Saat semua pecinta sastra dan sastrawan rame-rame mengenangkan 63 tahun kepergian sang "aku ini binatang jalang", seorang sastrawan besar lainnya yang tak kalah penting artinya bagi kesusastraan negeri ini seakan dilupakan dan terpinggirkan. Ya, dialah sastrawan tierra humana - bumi manusia : Pramoedya Ananta Toer(PAT) yang akrab disapa cukup dengan, Pram.

Banyaknya pemerhati sastra yang masih meneliti karya-karyanya sampai saat ini boleh jadi bukti nyata akan kebesaran seorang Pramoedya Ananta Toer. Pertengahan Februari 2012, beredar buku yang kembali mengkaji sosok dan karya -karya Pram dari seorang berkebangsaan Korea yang mencintai sastra Indonesia. Prof Koh Young Hun, namanya. Pramoedya mengggugat melacak jejak Indonesia, demikian anak ruhani atau buku yang merupakan disertasi Prof Koh Young Hun dari University of Malaya. Terakhir, Savitri Scherer, seorang jurnalis yang mencintai karya-karya Pram, mendedahkan disertasinya yang kini menjadi buku berjudul Pramoedya Ananta Toer luruh dalam ideologi. Demikianlah Pram, kajian dan penelitian tentang diri dan karya-karyanya tak pernah berkesudahan. Selalu saja ada yang menarik dan memantik rasa ingin tahu yang sangat jika membahas nama seorang "Pramoedya Ananta Toer".


Sabtu, 28 April 2012

Ini dia, 63 tahun Kematian Chairil Anwar

 


"Aku "adalah Chairil Anwar. Sosok Chairil Tak bisa dilepaskan dari 'keakuannya'. Lewat 'aku'nya itu, Chairil menembus jagat kesusastraan tanahair. Chairil Anwar adalah pelopor sastra angkatan 45 sebagaimana pengakuan HB Jassin. Ya, Jassinlah yang melihat dengan baik bagaimana perkembangan penyair muda yang penuh vitalitas itu. Jassin yang mendapat julukan sebagai Paus Sastra Indonesia dari Gayus Siagian adalah sosok yang amat mengagumi karya-karya Chairil Anwar. Sedang Chairil amat mengagumi banyaknya buku-buku dan ragam arsip kesusastraan yang dimiliki HB Jassin. Demikianlah persahabatan diantara keduanya pun terjalin erat dan akrab. Mereka membincangkan masalah kesusastraan mulai dari ihwal yang remeh temeh hingga yang paling pelik. Semua dibahas secara tuntas dan sangat mendetail. Dua orang yang dikemudian hari memberikan kontribusi utama dalam menekuni dunia kesusastraan di negeri ini tanpa bermaksud merendahkan sastrawan-sastrawan lainnya yang pernah hadir dan berkiprah dalam jagat kesusastraan tanahair.Begitulah.

Menyambut haul sastra hari  ini, yang jatuh sesuai hari kematian Chairil 63 Tahun silam, tak ada salahnya jika ada sebagian orang yang mencintai kesusastraan berdatangan ke makamnya di Karet Bivak. Penyair yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk seni dan sastra pada khususnya adalah sosok yang tak akan lekang dimakan zaman. Dia terus mengabadi bersama karyanya yang bertebaran dimana-mana. Dia terus berlari menerjang segala zaman yang mencoba menggilas "pemberontak" seperti dirinya. Ya, puisinya acapkali dipandang sebagai syair-syair pemberontakan pada masanya. Tapi ia tak surut dan mundur dengan anggapan macam itu. Puisi dan karya -karyanya adalah buah pikiran dan jiwa murninya yang mesti diketahui khalayak.





Chairil Anwar adalah legenda sastra indonesia yang mengabadi. Kenangan terhadapnya adalah kenangan seorang yang murni mencurahkan seluruh hidupnya pada dunia seni, sastra pada khususnya. Berbagai polah tingkahnya yang minor bagi sebagian orang itu sesungguhhya menunjukkan keinginannya yang begitu total, tidak mau setengah-setengah dalam menciptakan suatu karya. Ia harus mengalami, menyelami, bahkan bila perlu mencecap setiap pengalaman dalam kehidupannya yang penuh dinamika itu. Kehidupan para seniman yang seringkali dianggap "aneh" bagi sebagian masyarakat di negeri ini.

Dia sudah berikan yang terbaik bagi bangsanya. Kini, Chairil-Chairil baru terus bermunculan. Namun, tetap saja dia masih yang paling jenial, hidup, diantara semuanya itu. Tak salah hari sastra pun jatuh sesuai tanggal kematiannya. Adios, Chairil Anwar. Selamat Jalan si "aku", sang binatang jalang.

Ini dia, 63 tahun Kematian Chairil Anwar

 


"Aku "adalah Chairil Anwar. Sosok Chairil Tak bisa dilepaskan dari 'keakuannya'. Lewat 'aku'nya itu, Chairil menembus jagat kesusastraan tanahair. Chairil Anwar adalah pelopor sastra angkatan 45 sebagaimana pengakuan HB Jassin. Ya, Jassinlah yang melihat dengan baik bagaimana perkembangan penyair muda yang penuh vitalitas itu. Jassin yang mendapat julukan sebagai Paus Sastra Indonesia dari Gayus Siagian adalah sosok yang amat mengagumi karya-karya Chairil Anwar. Sedang Chairil amat mengagumi banyaknya buku-buku dan ragam arsip kesusastraan yang dimiliki HB Jassin. Demikianlah persahabatan diantara keduanya pun terjalin erat dan akrab. Mereka membincangkan masalah kesusastraan mulai dari ihwal yang remeh temeh hingga yang paling pelik. Semua dibahas secara tuntas dan sangat mendetail. Dua orang yang dikemudian hari memberikan kontribusi utama dalam menekuni dunia kesusastraan di negeri ini tanpa bermaksud merendahkan sastrawan-sastrawan lainnya yang pernah hadir dan berkiprah dalam jagat kesusastraan tanahair.Begitulah.

Menyambut haul sastra hari  ini, yang jatuh sesuai hari kematian Chairil 63 Tahun silam, tak ada salahnya jika ada sebagian orang yang mencintai kesusastraan berdatangan ke makamnya di Karet Bivak. Penyair yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk seni dan sastra pada khususnya adalah sosok yang tak akan lekang dimakan zaman. Dia terus mengabadi bersama karyanya yang bertebaran dimana-mana. Dia terus berlari menerjang segala zaman yang mencoba menggilas "pemberontak" seperti dirinya. Ya, puisinya acapkali dipandang sebagai syair-syair pemberontakan pada masanya. Tapi ia tak surut dan mundur dengan anggapan macam itu. Puisi dan karya -karyanya adalah buah pikiran dan jiwa murninya yang mesti diketahui khalayak.



Jumat, 07 Oktober 2011

150 Tahun HKBP

7 Oktober merupakan tanggal kelahiran HKBP (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN). Pada 2011 ini genaplah HKBP merayakan jubileum 150 tahunnya. Saya ingin membagikan apa yang saya baca dari alkitab dini hari ini. Disarikan dari 1 Korintus 7:20 -24. Judul besarnya:Hidup dalam keadaan seperti waktu dipanggil Allah. Saya teringat ketika saya memutuskan hidup merantau ke Yogyakarta dan mencari penghidupan disana. Sebagai awalan dan pijakan, sengaja saya mengindahkan minggu sebagai hari suciNya.

Ya, saya memang berniat sekali supaya minggu pertama saya tiba di Yogyakarta untuk kemudian bergereja kali pertamanya di awal Januari 2008. Begitulah. Kini, setelah ayah berpulang ke haribaanNya saya kembali ke Bandar Lampung yang adalah tempat tinggal orang tua dan adik-adik saya.Rasanya saya menjadi terasing di tanah sendiri. Seakan saya bukan bagian dari masyarakat Bandar Lampung. Nampaknya kota Yogyakarta begitu kuat memengaruhi diri ini sehingga Bandar Lampung yang merupakan tempat masa kecil dan remaja saya hilang begitu saja hanya karena lebih dari tiga setengah tahun tinggal di Yogyakarta. Dari beragam pengalaman para perantau dan musafir yang pernah saya dengar, Yogyakarta memang adalah kota kedua-untuk tidak menyebut yang pertama- setelah tanah kelahiran sendiri yang akan selalu melekat di hati setiap perantau. 


 

Baiklah saya kini berbagi firman yang telah saya baca. Saya merasa seperti seorang empu yang sedang bersemadi dan tapa dalam keheningan yang sunyi untuk kemudian menuliskan postingan ini. Tak apalah.

Pada Ayat 20 tertera:Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah. Yang menarik adalah pada ayat 22 b : Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hambaNya. Kemudian berlanjut pada ayat ke-23: Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Jadi, terasa ada timbal balik yang harus dilakukan manusia kepada Sang Khaliknya. Ya, demikianlah. 

Walaupun demikian, hubungan vertikal antara seorang manusia dengan Sang Khaliknya ini tak boleh melupakan hubungan dengan manusia lainnya. Sebagaimana termaktub dalam ajaran kasih Kristus: Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi diri sendiri. Dan jika diilustrasikan dengan gambar sederhana terkuaklah hubungan vertikal dan horisontal ini melalui perlambang salib. Semoga.

150 Tahun HKBP

7 Oktober merupakan tanggal kelahiran HKBP (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN). Pada 2011 ini genaplah HKBP merayakan jubileum 150 tahunnya. Saya ingin membagikan apa yang saya baca dari alkitab dini hari ini. Disarikan dari 1 Korintus 7:20 -24. Judul besarnya:Hidup dalam keadaan seperti waktu dipanggil Allah. Saya teringat ketika saya memutuskan hidup merantau ke Yogyakarta dan mencari penghidupan disana. Sebagai awalan dan pijakan, sengaja saya mengindahkan minggu sebagai hari suciNya.

Ya, saya memang berniat sekali supaya minggu pertama saya tiba di Yogyakarta untuk kemudian bergereja kali pertamanya di awal Januari 2008. Begitulah. Kini, setelah ayah berpulang ke haribaanNya saya kembali ke Bandar Lampung yang adalah tempat tinggal orang tua dan adik-adik saya.Rasanya saya menjadi terasing di tanah sendiri. Seakan saya bukan bagian dari masyarakat Bandar Lampung. Nampaknya kota Yogyakarta begitu kuat memengaruhi diri ini sehingga Bandar Lampung yang merupakan tempat masa kecil dan remaja saya hilang begitu saja hanya karena lebih dari tiga setengah tahun tinggal di Yogyakarta. Dari beragam pengalaman para perantau dan musafir yang pernah saya dengar, Yogyakarta memang adalah kota kedua-untuk tidak menyebut yang pertama- setelah tanah kelahiran sendiri yang akan selalu melekat di hati setiap perantau. 


Selasa, 12 Juli 2011

*Kesepian Perantau*


Mampus kau dikoyak-koyak sepi!
[sajak Chairil Anwar pada 1943, Sia-Sia]

 

 (Ya, karena melihat tembok macam inilah perantau kemudian menuliskan postingan ini) [gambar ini diambil dari: http://gielugita.blogspot.com/]
.

Ya, sebaris kata terakhir sajak "Sia-Sia" milik Chairil Anwar itu terasa menusuk dan menghunjam pedalaman diri ini. Ungkapan sarkas bernada getir itu seakan menyindir, bahkan 'terang-terangan' dengan gayanya yang sudah tertulis itu, telak menjadi ejekan bagi perantau yang dilanda kesepian.

Perantau menemukan sebaris kata terakhir dari sajak "sia-sia" itu pada tembok kota di atas jembatan Kali Code yang membatasi Kota Baru dan Malioboro Yogyakarta.



Kesepian nampaknya sudah menjadi kebiasaan yang tak terelakkan bagi para perantau di mana pun. Entah sudah berapa kali sepi muncul dalam kehidupan sehari-hari para perantau. Yang terang: rasa-rasanya hal itu tak bisa dihitung lagi karena sudah menjadi keadaan yang kerap dijalani dan dilalui dalam hidup perantau. Begitu pula perantau yang menuliskan postingan ini.

"Sepi". Ya, sejak kapan perantau mengenal kata itu? Nampaknya, kehidupan perantau pada masa remaja kemudian beranjak dewasa diselimuti dengan kata yang bernada menyendiri itu? Ya, rasa-rasanya diri perantau semasa remaja adalah diri yang menjadi penyendiri di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Untuk menghibur diri dan pikiran yang suntuk itu, bukulah yang menjadi sumber utama untuk terus menyemangati kehidupan yang terus berjalan. Dan itu ternyata berhasil.

Ya, buku-buku yang dibaca, apa pun jenis dan bentuk bukunya, jika pikiran kalut dan bimbang seraya merana, buku-buku bacaan itulah yang justru tampil "menghidupi". Kalau pun tidak hidup, pembaca itu sendirilah yang "menghidup-hidupi" buku bacaannya. Sebab itu kesepian yang mengenaskan dan menggiriskan hati pun lepas dan melebur dalam alam khayal pikiran yang berkelana sampai kemana-mana, sejauh-jauhnya dan sebebas-bebasnya bersama buku. Dan pada akhirnya kembali kepada pijakan semula yakni kenyataan hidup yang harus dijalani dan dilalui.

Seiring berjalannya waktu, kesepian pun tidak lagi menjadi sesuatu yang "menakutkan' dan melayukan pikiran yang berkembang. Kesepian telah takluk dan ditindas oleh buku-buku!

Ah, ini hanya sebentuk postingan guna menghibur diri saja. Tulisan ini tidak bermaksud menghina dan merendahkan seorang Chairil Anwar -seorang penyair terdepan negeri ini- sebagaimana terungkap pada paragraf pertama di atas. Justru, ini postingan meneguhkan tentang betapa seorang Chairil Anwar dengan semangatnya yang menggelegak itu, begitu "hidup" menyelami dan menyongsong kehidupannya yang banyak dirundung kegalauan! Dan Chairil, kini sudah menjadi "berarti" dan "tidak sia-sia" lagi!!!

Begitu.

*Kesepian Perantau*


Mampus kau dikoyak-koyak sepi!
[sajak Chairil Anwar pada 1943, Sia-Sia]

 

 (Ya, karena melihat tembok macam inilah perantau kemudian menuliskan postingan ini) [gambar ini diambil dari: http://gielugita.blogspot.com/]
.

Ya, sebaris kata terakhir sajak "Sia-Sia" milik Chairil Anwar itu terasa menusuk dan menghunjam pedalaman diri ini. Ungkapan sarkas bernada getir itu seakan menyindir, bahkan 'terang-terangan' dengan gayanya yang sudah tertulis itu, telak menjadi ejekan bagi perantau yang dilanda kesepian.

Perantau menemukan sebaris kata terakhir dari sajak "sia-sia" itu pada tembok kota di atas jembatan Kali Code yang membatasi Kota Baru dan Malioboro Yogyakarta.